Organisasi publik (birokrasi) di Indonesia, umumnya memakai konsep Weberian, yang dikenal dengan tipe ideal birokrasi dimana suatu birokrasi atau adminitrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional.
Dari berbagai tipe ideal yang dikonsepkan oleh Weber tentunya tidak mudah diimplementasikan dalam sebuah birokrasi pemerintahan. Realitas yang terjadi di birokrasi pemerintahan dalam hal pengembangan karier tidak selalu berdasarkan pada kualifikasi profesionalitas, kualitas, kapabilitas, tetapi pengembangan karier hanya didasarkan pada subyektivitas, hubungan emosional bahkan karena adanya kepentingan politik. Menurut pandangan Weber terdapat peranan politik dalam birokrasi yang bisa mempengaruhi terhadap proses tipe ideal birokrasi.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan penuh Kepala Daerah untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan pemerintahannya berdasarkan prinsip nyata, luas dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah bukan hanya menyangkut masalah pembangunan, pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi juga termasuk menyangkut manajemen dan pengembangan karier pegawai negeri sipil yang ada di daerahnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian memberikan kewenangan pemerintah daerah hal rekruitmen, pembinaan, pemindahan dan pengembangan karier PNS di Propinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan dapat membangun dan menciptakan PNS yang kompeten, profesional, dan memiliki kapasitas yang dapat menunjang kinerja dalam birokrasi.
Faktanya dengan kewenangan Kepala Daerah terlalu berlebihan. Kondisi PNS dalam pengembangan karier kadang tidak memperhatikan profesionalisme, kepangkatan dan pendidikan akan tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan politik, ikatan emosional, loyalitas politik maupun kepentingan partai politik.
Nampak jelas ketika menjelang/pasca pilkada, akibat dari dukung-mendukung salah satu kandidat Calon Kepala Daerah, mau tidak mau, dipaksa atau tidak dipaksa maupun melibatkan diri dalam mendukung salah satu kandidat, melakukan aktivitas politik, juru kampanye, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Birokrasi secara terang-terangan mendukung partai politik Calon Kepala Daerah dan tidak takut mengakui dirinya orangnya partai karena merasa lebih aman.
Ironis memang, kondisi birokrasi saat ini, tetapi itulah kenyataannya, aparatur PNS hampir semuanya tidak netral. PNS yang mencoba untuk menetralkan dirinya biasanya tidak mendapat apa-apa dalam jabatan birokrasi pemerintahan daerah. Ukuran seseorang mendapatkan jabatan dapat dilihat seberapa besar orang tersebut berjasa dalam memenangkan kandidat Kepala Daerah. Apabila PNS bertolak belakang dengan kebijakan politik Kepala Daerah kadangkala kehilangan jabatan atau bahkan dinonjobkan.
Recent Comments