Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah berlangsung empat kali telah banyak mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia terutama lembaga legislatif yang semula hanya Dewan Perwakilan Rakya (DPR) sekarang berjumlah tiga yakni Majelis Permusyawaratan Rakya (MPR), DPR, dan DPD serta dari sistem perwakilan unikameral diubah bentuknya menjadi sistem perwakilan bikameral.
Bagi Indonesia yang bentuk negaranya kesatuan akan tetapi menganut sistem perwakilan bikamera tidak akan mengubah bentuk negara Indonesia menjadi negara federal. Hal ini disebabkan urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak dari MPR dan DPR.
Salah satu urusan pemerintahan yang distribusikan yaitu kewenangan untuk menciptakan norma hukum tertulis yang berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak dalam bentuk Peraturan Daerah (local ordinance). Peraturan Daerah (perda) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Namun nyatanya, Pemerintah Pusat banyak membatalkan perda yang bermasalah dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dan menghambat iklim investasi. Munculnya perda bermasalah tak lepas dari ekses pelaksanaan otonomi daerah, sebagian daerah terlalu euforia menerima pendelegasian kewenangan. Anehnya permasalahan ini masih terjadi meski otonomi daerah sudah berumur 11 tahun, memang umur 11 tahun belum dewasa masih tergolong kanak-kanak sehingga tidak mengherankan perilaku daerah yang diberikan kewenangan oleh pusat masih dengan sengaja menabrak rambu-rambu peraturan perundang-undangan otonomi daerah.
Sungguh ironis namun itulah kenyataannya, kalangan pengusaha mengeluhkan adanya berbagai pungutan saat berinvestasi di daerah.
Recent Comments