Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat Indonesia. Perkembannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis dan membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Sehingga tidak mengherankan disaat peringatan Hari Dharma Karyadhika ke-49, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tenggara menegaskan, bahwa : “Anggaran yang telah ditetapkan harus dapat direalisasikan dan dipertanggung jawabkan secara efektif serta efisien. Apabila ada oknum yang melakukan pelanggaran hukum, maka tidak ada toleransi, akan ditindak tegas tanpa pandang bulu”, (Kendari Pos, 31 Oktober 2012, hal : 10).
Uraian analisa pernyataan Kepala Kantor Wilayah tersebut diatas , sebagai berikut :
Dari uraian analisa dari pernyataan Kepala Kantor Wilayah, tersirat bahwa Kepala Kantor Wilayah telah memberikan lampu hijau kepada KPK untuk membuktikan bahwa ada atau tidak ada pelanggaran hukum dalam penggunaan anggaran oleh pengguna anggaran dan bendahara di wilayah yang dipimpinnya.
Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah berlangsung empat kali telah banyak mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia terutama lembaga legislatif yang semula hanya Dewan Perwakilan Rakya (DPR) sekarang berjumlah tiga yakni Majelis Permusyawaratan Rakya (MPR), DPR, dan DPD serta dari sistem perwakilan unikameral diubah bentuknya menjadi sistem perwakilan bikameral.
Bagi Indonesia yang bentuk negaranya kesatuan akan tetapi menganut sistem perwakilan bikamera tidak akan mengubah bentuk negara Indonesia menjadi negara federal. Hal ini disebabkan urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak dari MPR dan DPR.
Salah satu urusan pemerintahan yang distribusikan yaitu kewenangan untuk menciptakan norma hukum tertulis yang berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak dalam bentuk Peraturan Daerah (local ordinance). Peraturan Daerah (perda) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Namun nyatanya, Pemerintah Pusat banyak membatalkan perda yang bermasalah dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dan menghambat iklim investasi. Munculnya perda bermasalah tak lepas dari ekses pelaksanaan otonomi daerah, sebagian daerah terlalu euforia menerima pendelegasian kewenangan. Anehnya permasalahan ini masih terjadi meski otonomi daerah sudah berumur 11 tahun, memang umur 11 tahun belum dewasa masih tergolong kanak-kanak sehingga tidak mengherankan perilaku daerah yang diberikan kewenangan oleh pusat masih dengan sengaja menabrak rambu-rambu peraturan perundang-undangan otonomi daerah.
Sungguh ironis namun itulah kenyataannya, kalangan pengusaha mengeluhkan adanya berbagai pungutan saat berinvestasi di daerah.
Organisasi publik (birokrasi) di Indonesia, umumnya memakai konsep Weberian, yang dikenal dengan tipe ideal birokrasi dimana suatu birokrasi atau adminitrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional.
Dari berbagai tipe ideal yang dikonsepkan oleh Weber tentunya tidak mudah diimplementasikan dalam sebuah birokrasi pemerintahan. Realitas yang terjadi di birokrasi pemerintahan dalam hal pengembangan karier tidak selalu berdasarkan pada kualifikasi profesionalitas, kualitas, kapabilitas, tetapi pengembangan karier hanya didasarkan pada subyektivitas, hubungan emosional bahkan karena adanya kepentingan politik. Menurut pandangan Weber terdapat peranan politik dalam birokrasi yang bisa mempengaruhi terhadap proses tipe ideal birokrasi.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan penuh Kepala Daerah untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan pemerintahannya berdasarkan prinsip nyata, luas dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah bukan hanya menyangkut masalah pembangunan, pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi juga termasuk menyangkut manajemen dan pengembangan karier pegawai negeri sipil yang ada di daerahnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian memberikan kewenangan pemerintah daerah hal rekruitmen, pembinaan, pemindahan dan pengembangan karier PNS di Propinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan dapat membangun dan menciptakan PNS yang kompeten, profesional, dan memiliki kapasitas yang dapat menunjang kinerja dalam birokrasi.
Faktanya dengan kewenangan Kepala Daerah terlalu berlebihan. Kondisi PNS dalam pengembangan karier kadang tidak memperhatikan profesionalisme, kepangkatan dan pendidikan akan tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan politik, ikatan emosional, loyalitas politik maupun kepentingan partai politik.
Nampak jelas ketika menjelang/pasca pilkada, akibat dari dukung-mendukung salah satu kandidat Calon Kepala Daerah, mau tidak mau, dipaksa atau tidak dipaksa maupun melibatkan diri dalam mendukung salah satu kandidat, melakukan aktivitas politik, juru kampanye, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Birokrasi secara terang-terangan mendukung partai politik Calon Kepala Daerah dan tidak takut mengakui dirinya orangnya partai karena merasa lebih aman.
Ironis memang, kondisi birokrasi saat ini, tetapi itulah kenyataannya, aparatur PNS hampir semuanya tidak netral. PNS yang mencoba untuk menetralkan dirinya biasanya tidak mendapat apa-apa dalam jabatan birokrasi pemerintahan daerah. Ukuran seseorang mendapatkan jabatan dapat dilihat seberapa besar orang tersebut berjasa dalam memenangkan kandidat Kepala Daerah. Apabila PNS bertolak belakang dengan kebijakan politik Kepala Daerah kadangkala kehilangan jabatan atau bahkan dinonjobkan.
Beberapa hal penting yang menyebabkan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung saat ini terlihat sangat memprihatinkan. Ini boleh dikatakan tidak hanya berlaku pada suatu daerah tertentu, tapi hampir bisa digeneralisasikan pada semua proses pemilihan umum kepala daerah disemua daerah di negeri ini, yakni : Pertama; pengunaan uang untuk membeli suara konstituen atau lebih dikenal dengan politik uang (money politic), hal tersebut dapat dibuktikan pemenang pilkada langsung umumnya adalah figur-figur pengusaha orang-orang yang didukung uang dan parpol-parpol pengusung. Parpol-parpol pengusung pun mempunyai “harga” yang harus “dibayar” oleh kandidat . Uang menjadi amat penting karena pilkada langsung telah menjadi industri dan “komoditas” yang penuh dengan hitung-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para “rational voters”, akhirnya hanya menjadi “lips service” belaka sekedar untuk memenuhi persyaratan prosedur formal. Kapitalisasi pilkada menjadi sesuatu yang sangat nyata. Kedua; besarnya belanja kampanye calon hasil pilkada langsung sulit dipisahkan dari perilaku korupsi kepala daerah yang terpilih. Data terbaru yang dilansir Kementerian Dalam Negeri, hingga kini terdapat lebih dari 160 kepala daerah yang telah dan akan dibawa ke pengadilan, semuanya terkait kasus korupsi dana APBD. Hampir semua kepala daerah yang bermasalah tersebut merupakan hasil dari proses pilkada langsung. Pilkada langsung selama ini memang hanya menghasilkan pemimpin yang terdorong dan memiliki modal besar sehingga mengesampingkan kompetisi yang sehat, akibatnya peserta pilkada banyak yang tidak siap kalah, bahkan menang pun tidak siap. Pihak yang kalah mencari-cari kesalahan pemenang dan memobilisasi massa. Sebaliknya, pihak pemenang tidak menggunakan wewenangnya untuk membuat kebijakan publik yang sesuai dengan kepentingan masyarakat tapi masalah korupsi . Sehingga tak jarang kesimpulan yang tercipta adalah calon terpilih akan sibuk dengan mengembalikan modalnya selama pencalonan dibanding memikirkan kondisi dan keadaan masyarakat yang dipimpinnya. Ironis memang tapi itulah kenyataannya.
Recent Comments